“Bersegeralah kalian melakukan amal shalih
sebelum datangnya berbagai fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang
gelap gulita. Pada waktu pagi seorang masih beriman, tetapi di sore hari sudah
menjadi kafir; dan pada waktu sore hari seseorang masih beriman, kemudian di
pagi harinya sudah menjadi kafir.” [HR. Muslim no. 169, Tirmidzi
no. 2121, dan Ahmad no. 7687.]
Ahmad
Thomson menyebutkan tiga macam pola dasar pengelompokan sosial. Pertama, masyarakat pedalaman sederhana yang
hidup selaras dengan alam namun tidak mengikuti syari’at kenabian dalam
peribadatan. Kedua,masyarakat
Islam yang selaras dengan alam dan mengikuti syari’at kenabian. Ketiga,masyarakat kafir
yang hidup tidak selaras dengan alam semesta dan sengaja menolak syariat Sang
Pencipta.
Masyarakat
pertama perlahan semakin menghilang seiring laju perkembangan teknologi dan
informasi, walaupun eksistensi mereka akan tetap ada namun mayoritas kita tidak
berada di kelas itu.
Adapun
jenis kelompok kedua, gambaran yang paling ideal terjadi pada generasi terbaik
umat Islam; sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Mereka bisa selaras fitrahnya
dengan lingkungan dan pada saat yang sama juga menjadikan keselerasannya dengan
alam semesta dalam bingkai ibadah kepada pencipta alam semesta. Pada kehidupan
mereka terdapat sistem hidup yang mengandung kecukupan dan keberkahan, materil
dan non materil.
Kelompok kedua ini menjadikan dunia sebagai ladang menanam amal
untuk memetik kebahagiaan yang sesungguhnya di akhirat. Karenanya mereka tidak
mengeksplorasi alam semesta dengan semangat ketamakan dan eksploitasi,
melainkan agar sarana menegakkan agama ini makin mudah dan efektif.
Mereka
tidak merusak hutan atau menambang isi bumi secara brutal yang di kemudian hari
menyisakan persoalan bagi anak cucu mereka. Sebaliknya langit dan bumi
mendatangkan keberkahan dalam semua yang mereka lakukan. Syariat kenabian yang
mereka jadikan sebagai dasar pijak dan petunjuk arah, telah membuat tujuan dari
semua yang mereka lakukan menjadi terang dan jelas. Karenanya mereka kaya dan
makmur dengan sebenar-benarnya.
Dunia
telah mengikutinya, bahkan berada dalam genggaman tangannya. Sementara hatinya
tetap bebas untuk tunduk dalam kendali syariat pencipta dunia itu. Kepada
kelompok kedua ini Allah jadikan Iblis tak berdaya untuk menggodanya. Badai api
fitnah pun padam tak kuat untuk menyala. Bahkan Allah jadikan musuh-musuh
mereka lumpuh tak berdaya.
Sebagian
tertunduk lesu tanda menyerah kalah dan sebagiaannya ’terpaksa’ masuk dalam
barisan mereka karena pribadi mereka terlalu mulia untuk ditentang. Demikianlah
kemuliaan yang Allah anugerahkan kepada kelompok manusia yang hatinya selaras
dengan semesta dan jiwanya tunduk kepada syariat Sang Pencipta.
Adapun
masyarakat ketiga, inilah jenis masyarakat yang paling mendominasi dunia;
masyarakat yang bermusuhan dengan alam semesta dengan beragam aktivitas
eksploitasi alam -juga manusianya- secara liar, dimana semua itu dilakukan
untuk memenuhi nafsu mereka dan dalam rangka menentang syari’at pencipta
mereka. Inilah masyarakat kafir yang kehidupan mereka tunduk di bawah kendali
Iblis melalui sistem Dajjal dan kaki tangannya.
Inilah
era di mana kita hidup, era yang tanpa sadar menyeret kaum Muslimin untuk masuk
dalam pusaran permainan mereka untuk selanjutnya mustahil bisa keluar darinya.
Pola hidup masyarakat kelas ini telah menjadi sesuatu yang sistemik, berlaku
secara global dan menjangkau seluruh bidang kehidupan manusia. Politik, sosial,
ekonomi, budaya, militer, pemikiran dan peradaban, semuanya berada dalam
kendali sistem kufur ini.
Inilah
zaman yang oleh nabi disebut sebagai zaman fitnah, zaman yang semua sistem
kenabian telah dijurkirbalikkan, norma dan nilai kebenaran dirusak tanpa ada
yang tersisa. Sangat berat hidup di era ini; era dajjal, era dimana seluruh
masyarakat dunia telah buta, yang karenanya si mata satu merasa pantas menjadi
raja. Lantas, apa yang dapat kita perbuat?
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Sebaik-baik manusia pada masa
terjadinya kekacauan adalah seorang laki-laki yang memegang tali kendali
kudanya di belakang musuh Allah. Ia membuat mereka gentar dan mereka juga
membuatnya gentar. Atau seorang laki-laki yang mengasingkan diri di daerah
pedalaman, dengan menunaikan hak Allah atas dirinya.” [HR. Al-Hakim
dan Abu ‘Amru Al-Dani. Dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan
Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 698]
Pilihan pertama sangat cocok untuk penduduk negeri yang Allah
karuniakan ibadah jihad.
Adapun
bagi kaum Muslimin yang berada di wilayah ‘damai’, maka pilihan kedua adalah
solusi terbaik; ‘uzlah dengan tetap menunaikan hak Allah atas
dirinya. Uzlah yang hak Allah tetap terpenuhi adalah ‘uzlah berjamaah’, membentuk komunitas yang
memiliki kesamaan tujuan; menegakkan agama ini hingga bisa mewujudkan
masyarakat yang selaras dengan alam semesta dan tetap tunduk kepada syari’at
Allah swt. Wallahu a’lam bish shawab.*
Sumber
: Hidayatullah
0 komentar:
Posting Komentar