Sebaliknya Quraisy, masih maju-mundur. Kemudian terpikir oleh mereka untuk mengutus beberapa orang terkemuka dari kalangan mereka, untuk menjajagi kekuatannya dan dari segi lain untuk merintangi jangan sampai kaum Muslimin masuk Makkah.
Dalam hal ini, mereka Budail bin Warqa' dalam suatu rombongan yang terdiri dari suku Khuza'ah. Mereka menanyakan kepada kaum Muslimin tentang maksud kedatangan ke Makkah. Setelah diberitahu bahwa kedatangan kaum Muslimin bukan untuk berperang, melainkan hendak berziarah dan memuliakan Baitullah, mereka pun kembali kepada Quraiys.
Budail dan kawan-kawannya meyakinkan Quraisy, agar membiarkan saja Rasulullah dan sahabat-sahabatnya mengunjungi Rumah Suci. Namun mereka malah dituduh bersekongkol oleh Quraisy. Kemudian Quraisy mengutus orang lain, yaitu sekutunya dari golongan Ahabisy.
Ahabisy ialah perkampungan di pegunungan—sebuah kabilah Arab ahli pelempar panah. Dinamakan demikian, karena warna kulit mereka yang hitam atau karena sifatnya yang mengelompok, atau juga dihubungkan pada Hubsy, nama sebuah gunung di hilir Makkah.
Maka berangkatlah Hulais, pemimpin Ahabisy, menuju perkemahan Muslimin. Tatkala Rasulullah melihatnya datang, beliau meminta supaya ternak-ternak kurban itu dilepaskan agar dilihat sendiri oleh Hulais. Sebagai bukti nyata bahwa orang-orang hendak diperangi oleh Quraisy itu tidak lain dari orang-orang yang datang hendak berziarah ke Baitullah.
Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak kurban yang tujuh puluh ekor tersebut, berjalan beriringan dari tengah wadi dengan bulu yang sudah rontok. Ia merasa sangat terharu melihat pemandangan itu. Dalam hatinya timbul semangat keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam terhadap mereka, yang datang bukan untuk berperang atau mencari permusuhan.
Ia kembali kepada Quraisy tanpa menemui Rasulullah lagi. Diceritakannya kepada mereka apa yang telah dilihatnya. Tetapi begitu mendengar ceritanya itu, Quraisy naik pitam. "Duduklah!" kata mereka kepada Hulais. "Engkau ini Arab Badui yang tidak tahu apa-apa."
Mendengar itu Hulais naik pitam. Ia memperingatkan bahwa persekutuannya dengan Quraisy bukan untuk merintangi orang berziarah ke Rumah Suci. Siapa saja yang datang berziarah diperbolehkan, dan tidak semestinya dicegah. Ahabisy pun bersiap-sipa hendak kembali ke Makkah.
Khawatir dengan kemarahan Ahabisy itu, Quraisy mencoba membujuknya dan memintanya jangan pergi, sampai mereka dapat memikirkan langkah selanjutnya. Quraisy kemudian kembali mengutus orang yang dianggap bijaksana dan meyakinkan; Urwah bin Mas'ud Ats-Tsaqafi.
Urwah pun berangkat menemui Rasulullah. Ia mengatakan kepada Nabi SAW bahwa Makkah juga tanah tumpah darahnya yang harus dipertahankan. Kalau sampai dirusak, yang akan menderita adalah penduduk yang tinggal di tempat itu, juga kaum Quraisy. Suatu hal yang juga tidak diinginkan oleh Rasulullah, sekalipun antara dia dengan Quraisy terjadi perang terbuka.
Urwah pulang kembali setelah mendapat keterangan Rasulullah, sama seperti yang diberikan kepada utusan-utusan yang datang sebelumnya. Bahwa kedatangannya bukan hendak berperang, melainkan hendak mengagungkan Baitullah, menunaikan kewajiban kepada Allah.
"Saudara-saudara," kata Urwah. "Aku sudah pernah bertemu dengan Kisra, dengan kaisar dan dengan Negus di kerajaan mereka masing-masing. Tetapi belum pernah aku melihat seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wuduh, sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu bergegas mengambilkan air. Begitu mereka melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka mengambilnya. Mereka takkan menyerahkannya bagaimanapun juga. Pikirkanlah kembali baik-baik!"
Sementara kedua belah pihak tengah berusaha hendak mencapai mufakat dengan jalan saling tukar-menukar utusan, beberapa orang yang tidak bertanggungjawab dari pihak Quraisy malam-malam keluar dan melempari kemah Nabi SAW dengan batu. Jumlah mereka hingga 40 atau 50 orang, dengan maksud hendak menyerang sahabat-sahabat Rasulullah.
Namun mereka kemudian tertangkap basah, lalu dibawa kepada Nabi. Tahukah apa yang dilakukan Rasulullah? Beliau memaafkan dan membebaskan mereka, sebagai pertanda bahwa beliau ingin menempuh jalan damai dan menghormati bulan suci. Supaya tidak ada pertumpahan darah di Hudaibiyah, yang juga termasuk daerah suci Makkah.
Mengetahui hal ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala bukti yang hendak dituduhkan bahwa Muhammad bermaksud memerangi mereka, gugur sama sekali. Mereka kini yakin bahwa segala tindakan permusuhan terhadap Rasulullah, akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan kotor oleh bangsa Arab.
Rasulullah kemudian mengirim Utsman bin Affan ke Makkah sebagai utusan untuk mengadakan dengan Quraisy. Beliau berpesan agar Utsman menemui Abu Sufyan dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Ketika memasuki Makkah, Utsman terlebih dahulu menemui Aban bin Sa'id yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas membawa pesan Nabi.
Usai menjalankan tugasnya, pemuka Quraiys berkata pada Utsman, "Wahai, Utsman, kalau engkau mau berthawaf di Ka'bah, bertawaflah!"
Namun Utsman menjawab, "Aku tidak akan melakukannya sebelum Rasulullah berthawaf. Kedatangan kami kemari hanya untuk berziarah ke Baitullah, memuliakannya, dan menunaikan kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa binatang kurban, setelah disembelih kami pun akan kembali pulang dengan aman."
Pembicaraan pun menjadi lama, dan telah lama pula Utsman meninggalkan kaum Muslimin. Tiba-tiba muncul isu bahwa pihak Quraisy telah membunuh Utsman secara gelap dan tipu muslihat. Kaum Muslimin di Hudaibiyah begitu gelisah memikirkan keadaan Utsman. Terbayang oleh mereka kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Utsman di bulan suci. Semua agama orang Arab tidak membenarkan seseorang membunuh musuhnya di sekitar Ka'bah atau di sekitar Makkah yang suci.
Rasulullah SAW juga merasa khawatir jika Quraisy telah berkhianat dan membunuh Utsman di bulan suci itu. Beliau berkata kepada para sahabat, "Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat menghadapi mereka."
Rasulullah lalu memanggil para sahabat untuk berikrar di bawah sebatang pohon di lembah itu. Mereka semua berbaiat (berjanji setia) untuk tidak beranjak sampai mati sekalipun. Kaum Muslimin berbaiat kepada Rasulullah dengan iman yang teguh, dan kemauan yang keras. Semangat mereka sudah berkobar-kobar hendak menuntut balas atas pengkhianatan dan pembunuhan tersebut. Baiat ini kemudian dikenal dengan sebutan Baiat Ridwan.
Dalam hal ini, turunlah firman Allah SWT: "Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)." (QS Al-Fath: 18)
Usai baiat tersebut, Nabi SAW menepukkan sebelah tangannya pada tangan yang lain, sebagai tanda ikrar buat Utsman, seolah ia juga turut hadir dalam Baiat Ridwan. Namun tiba-tiba tersiar kabar bahwa Utsman tidak terbunuh, dan tak lama kemudian Utsman sendiri muncul ke tengah-tengah mereka. Walau demikian, Baiat Ridwan tetap berlaku, seperti halnya dengan Baiat Aqabah Kedua, sebagai tanda dalam sejarah Islam.
Sumber: Republika Online
0 komentar:
Posting Komentar